Manusia Bodoh

3 Jan 2014

Saya atau Anda yang Bodoh

Manusia bodoh. Mungkin salah satunya aku atau kamu, atau malah kita berdua? Kita yang sama-sama tidak bisa melihat sisi-sisi satu sama lain. Kamu yang berpikir kamu tahu, aku yang berpikir aku yang tahu. Aku yang sok mengerti dan kamu yang sok memaklumi. Kita sama-sama bingung. Sama-sama tidak biasa. Sama-sama berharap munculnya penjelasan. Entah apa yang terjadi pada kita.


Aku memandangmu dari sisiku. Semakin hari semakin penuh kekurangan. Semakin banyak curhat dan penjelasanku semakin kita saling menyalahkan. Kamu pun memandangku dari sisimu. Semakin cerewet dan perhitungan. Kita jadi diam. Diam dalam situasi yang membingungkan.
Haaaahh, seandainya kita tahu, yang kita perlu hanya saling mendengarkan tanpa terlibat dalam emosi dan pertengkaran. Tanpa sama-sama terlalu kaku menghadapi perdebatan yang membuat sama-sama mundur dari keinginan untuk mendengarkan. Mencari-cari celah untuk balik menyalahkan dan melupakan apa yang seharusnya dibahas dan diselesaikan.

Hah, bodohnya kita!

 “kamu yang sok tau”

“aku memang tau!”

“Dengar, ya, aku tidak akan lagi merengek kepadamu. Kamu semakin besar kepala!”

“kepalaku memang besar! Berisi! Tidak seperti kamu, bodoh!”

“sok pintar, kosong”

“Egois!”

“jangan menyalahkan aku saja untuk situasi ini”

“kamu memang salah, lebih dulu cari penyakit. Aku bosan menjadi penengah untuk masalahmu sedangkan kamu, dimana kamu saat aku bergelut dengan masalahku?”

“Kamulah sumber masalah itu!”

Membuang pandang jauh surut ke belakang sama saja mencari masalah baru yang lama, lama yang baru. Pada intinya, yang membuat seru adalah urat leher yang menegang, jantung yang berdetak lebih cepat, adrenalin yang memuncak dan suara yang berubah parau lantaran menahan geram. Tolol!

“Kamu yang tolol! Terpengaruh orang, mudah sekalii Dengan embel-embel apa kamu terpancing?”

“Kebanyakan memang seperti itu, perempuan rata-rata penipu. Jadi apa salahku percaya pada omongan orang?”

“Dan mengabaikan kesaksianku?!”

“Yaaa, aku tidak tau!”

“Itulah sebabnya kubilang kamu tolol!”

“Hei, jaga mulutmu, kamu perempuan”

“Ya, perempuanmu! Mana yang lebih baik daripada kenyataan itu?”

“Penghinaanmu besar-besaran kepadaku, aku masih mengalah. Kau tau”

“Mengalahmu tidak lebih besar daripada kesabaranku! Kamu mengalah, aku yang menanggung bebanmu”

Hmm….
 “Laki-laki harusnya lebih mampu menjaga kemampuannya untuk mempertahankan pendirian, tidak terpengaruh dengan sulutan orang lain”

“Tapi itulah kenyataan yang terus berputar di sekeliling kita”

“Tapi bukan kita, kan?”

“Siapa tau?!”

“Plak!”
Suara tamparan. Tapi bukan di pipi kiri atau kanan atau bagian mana pun.

“Ketololanmu menjadi-jadi. Berbaur dengan ketololanku yang masih mau mendengarkan ocehanmu.”

Dalam dada ada histeria kemarahan luar biasa. Sepenuh kepalan hatiku menanggung dongkol kepadamu, tapi seperti biasa, tanpa ekspresi mimik, hanya suaraku yang terasa kian berat memarau nyaring. Hmm…, mengapa juga kepalan tinjuku yang menghantam sudut mulutmu hanya ada dalam hayalanku saja?
“Seharusnya aku sudah pergi darimu!”

“Jadi kenapa tidak?”

Dalam geram.
“Karena aku kasihan meninggalkanmu dalam ketololan!”

Hah, memandangmu, hanya semburat kebodohan yang konyol yang dapat kutangkap. Begitu nyata dan tidak mau raib. Aku terdiam. Menegakkan kepalaku yang berat dengan dongkol. Mengapa ada manusia senaif dan sepicik ini? Kamu tolol atau pura­-pura tolol?

Sebetulnya kita sama-sama lelah berbohong. Kita sama-sama ingin jujur mengatakan bahwa kita lelah bertengkar terus-menerus. Tapi lihatlah, kita begitu sibuk berkelit dan mempertahankan ego. Lebih-lebih kamu, mana pernah mau minta maaf untuk mendinginkan hatiku, mana mau mengaku salah padahal aku yakin hatimu kerap mengaku bahwa aku yang terbaik untuk kehidupanmu.

Ketidakpercayaanmu yang konyol. Hah, lelahnya aku untuk meyakinkanmu terus-menerus… kerap aku merasa rugi, cerewetku bicara dan mulutku yang berbusa-busa menjelaskan kepadamu seperti angin lalu saja. Seiring sikap angin-anginanmu.

Entah apa yang kamu cari, entah apa yang kamu mau..dari aku dan keadaan ini. Kamu pun merasa bosan. Mukamu semakin layu tak berselera, menyandang berat pikiran yang menurutku kamu yang cari sendiri. Masalah tidak akan datang kalau tidak dicari. Ada penyesalan merona di wajahmu, setelah berjam jam kita membahasnya. Tidak tau siapa yang lebih dulu mengalah, yang pasti bukan aku. Begitu yang kamu tau, aku, tanpa segan-segan akan menghujanimu dengan kata-kata penuh duri.
Yang tak punya ampun menohok tepat ke jantungmu, via telingamu. Itu menurutmu… hmm, aku, kan tinggal beli saja!(itu menurutku).
“Jadi maunya gimana?”

“terserah kamu”

“Nah, perkataan orang bodoh, tuh..”

“Hei, berhenti mengatakan aku bodoh”

“Tapi memang kamu bodoh”

“Maumu apa, sih?”

“Mengatakan kamu bodoh”

“TOLOL! !”

“T-O-L-O-L!”

“Dasar keras kepala!”

“Dasar Plin plan!”

“Egois!”

“Tak pernah mau mengalah!”

“Aku selalu mengalah!”

“Tapi diam saja..”

“Maumu apa?”‘

“Kamu tidak lagi berpikir picik dan sempit. Yakini aku dari hatimu.”

“Cuma itu?”

“Ya.”

“Aku juga punya satu permintaan”

“Apa?”

“Jangan cepat buruk sangka kepadaku, aku tidak bermaksud menyinggungmu”

“Ok, bisa kumaklumi, asal kamu pun jaga bicara…”

“Ok”

“Ada lagi?”

“Cuma itu. Kamu?”

“Sama”

“Oya, ada satu lagi.”

“Apa?”

“Jangan cerewet.”

“Aku tidak cerewet!A ku bicara benar dan apa adanya, aku tidak akan membantah atau mengatakan apapun kalau kamu tidak mulai. Aku sangat benci kamu berpikir plin plan terhadap diriku, aku benci omongan-omonganmu yang ……”

“Nah, benar, kan, kamu cerewet, hmmm…..”

Aku balik melihatmu. Mulutmu bersemi senyum, tapi pura-pura aku tak tahu… hmm, benar juga, aku cerewet SEKALI. . .
 “Sudahlah, aku malas kita bertengkar terus… “
“Aku juga begitu.”

“Sudah, akhiri saja…”

“Ya sudah terserah…”

Kamu bangkit dari kursimu di sebelahku. Aku merasa mati kutu. Rasanya ingin ikut pergi, mana mau aku tinggal sendiri. Gengsiku pula yang tak akur, akulah yang harus lebih dulu pergi sebelum kamu meninggalkanku.

“Mau ikut juga?”

“Ikut? Aku mau pulang.. . “

“O, jadi gitu?”

“Katamu kita akhiri… jadi kenapa harus berdebat lagi?”

Mataku mulai berkaca-kaca mengikuti muka mendungmu yang memerah.
“Duduk..”

“Kataku, aku mau pulang!”

“Kataku, kamu duduk!”

“Kenapa aku harus duduk sedang kamu pergi?”

“Aduuh, bodonya kamu..”

“hmm … ?„

“Aku bilang, duduklah, aku mau pesan kopi…”

Aku melongo….


Sekian Cerita Pendeknya.. Selamat Membaca :')

Tidak ada komentar:

Posting Komentar